Minggu, 18 December, saya
sedang duduk di antara keluarga besarku.
Kami saat itu berkumpul untuk mengadakan acara syukuran. Saat-saat yang jarang bukan bila kita bisa
berkumpul bersama keluarga besar kecuali kalau sedang ada acara khusus?
Acara itu adalah untuk syukuran
tiga hal penting yang terjadi berdekatan. Satu, ulang tahun ayahku tercinta
yang memasuki usia 65 tahun, kedua, pensiunnya ayahku dari posisinya sebagai
salah satu penatua (salah satu bentuk pelayanan di gereja yang sesuai peraturan
gereja seorang penatua berhenti masa pelayanannya di usia 65 tahun) dan ketiga,
acara baptisan (sebuah bentuk acara iman di dalam umat Kristen) dari
keponakanku nomor dua yang masih berusia sembilan bulan. Hemat biaya, hemat
waktu, hemat energi…dan yang paling penting… ramainya tetep tiada duanya.
Kami semua duduk di tikar. Bukan
karena keharusan di keluarga saya kalau berkumpul harus duduk di tikar, tapi
ini adalah ide mama saat itu, yang selalu jadi
event organizer keluarga, supaya ruangan itu memuat semua anggota
keluarga yang hadir. Bayangkan mereka yang datang adalah anak-anak dan
cucu-cucu dari opung doli (kakek) ku kakak beradik! Ngga kebayang bo! Aku pun setuju saja dengan ide mama. Maka,
semua kursi, sofa, meja, meja hias yang ada di ruangan tamu diungsikan ke
ruangan lain dengan sistim bagi. Sebagian dibagi ke kamarku, sebagian dibagi ke
kamar orangtuaku.
Di keluarga kami, juga hampir di
setiap keluarga-keluarga BATAK lainnya, ada sebuah kebiasaan yang hampir selalu
dilakukan saat berkumpul di sebuah acara khusus yaitu kebiasaan ‘mandok hata’
(arti: mandok = berbicara, hata = kata). Sesi di mana kami satu persatu diminta untuk mengucapkan
satu dua patah kata (off the record: ada saja sih yang mengucapkan lebih dari
beberapa paragraph, mirip lagi cerita ) yang berisi ucapan selamat,
nasihat-nasihat membangun, harapan-harapan, tips, masukan atau bisa jadi
kritikan kepada orang yang saat itu jadi king of the day-nya. King of the day
pada acara keluargaku saat itu berarti
ayahku dan ponakanku. Secara ponakanku masih bayi, yang sudah pasti ngga
ngerti akan segala nasihat and the gank-nya, maka nasihat and the gank tersebut
ditujukan ke orangtuanya (adikku dan istrinya).
Sesi mandok hata biasanya kami
laksanakan setelah selesai makan, mungkin untuk menghindari ada bunyi perut
saat seseorang sedang berbicara. Setelah tikar dibersihkan dari piring-piring
dan gelas-gelas bekas makan, tumpahan makanan, kulit buah, dll, semua anggota
keluarga, kecuali anak-anak yang kemampuannya masih di level makan minum
disuapin, main diawasin, mandi dimandiin, tidur diboboin, akan disuruh duduk
berbentuk lingkaran (terserah sih, segiempat, jajarangenjang, elips juga boleh
selama semua orang bisa saling melihat, termasuk untuk melihat sang the king of
the day).
Dalam sesi mandok hata ini,
diharapkan dengan sangat agar nggak ada orang yang ngobrol. Aku tahunya ketika
saat SD aku dipelototin mama karena ngobrol dengan saudara di sebelahku . Tapi bukan berarti situasi harus selalu
hening, sunyi, dan kaku ya. Sah-sah saja kok kalau ada komentar, tertawa
mendengar nasihat and the gank yang terdengar lucu atau menimpali masukan-masukan yang belum pernah didengar, hanya jangan membuat
acara sendiri di mana kita asyik ngobrol dengan orang sebelah kanan kiri kita
membicarakan topik lain. Dengan kata
lain, tidak sopan.
Dalam keluargaku, entah di
keluarga-keluarga BATAK lainnya, siapa yang harus mengucapkan mandok hata akan
ditunjuk dan bergilir. Anggota-anggota
keluarga yang paling mudalah yang seringkali didaulat mandok hata lebih dulu,
dilanjutkan terusss sampai ke anggota keluarga yang paling tua/dituakan. Saudara sepupuku yang masih SD sudah pernah
mengalami ditunjuk sebagai ‘pembuka sesi’.
Saat acara syukuran tahun baru di rumahku, dialah yang paling muda saat
itu sehingga mendapat giliran pertama untuk mandok hata . Kami hanya bisa
memaklumi dan tersenyum ‘sok bijak’ (karena kita yang sudah besar tidak lagi
bisa hanya mengucapkan seperti apa yang diucapkan saudara sepupuku ini) saat
isi mandok hata dia hanyalah,”Selamat tahun baru….” lalu dia bersembunyi di
balik badan abangnya, malu. Diujung selesainya semua orang menyampaikan mandok hatanya, baru deh orang yang sedang ‘disyukurin’ itu membalas nasihat
& the gank yang baru disampaikan kepadanya.
Pastinya saya tidak tahu kapan
kebiasaan mandok hata ini dimulai.
Berdasarkan info sana sini dan melihat ahlinya para orang tua melakukan
pengaturan waktu dan orang yang ditunjuk untuk menyampaikan mandok hata dan
juga kebiasaan mandok hata yang tidak pernah tidak selalu ada sebagai acara
‘puncak’ saat keluarga atau keluarga lain
berkumpul merayakan suatu acara khusus, saya yakin seyakin-yakinnya
bahwa kebiasaan ini tidak mungkin muncul
baru pada puluhan tahun yang lalu. Pasti
sejak awal banget sejak kehidupan orang BATAK dimulai. Kalau ada KoKiers yang tahu jelas kapannya,
boleh deh nimbrung kasih info. Jadi sayapun tidak repot nyari..hehehe..
Alhasil, saking kebiasaannya kami
menghadapi kebiasaan ini, kami para muda mudi pun terbiasa melakukannya juga
saat ada teman yang ulang tahun, ngunjungin teman yang sakit (untuk yang satu
ini kami biasanya membatasi satu orang saja, kecuali kalau kita ingin si sakit
tambah sakit ngedenger banyak amat orang yang ngomong), mengunjungi orang
meninggal (inipun dibatasin hanya satu orang), dan acara-acara khusus lainnya.
Melihat dan belajar pada para senior (baca: orangtua, orang-orang yang dituakan
dan orang-orang yang lebih tua),
berarti, siapa-siapa saja yang dimandatkan mandok hata tidak selalu
disampaikan oleh setiap orang, tapi melihat situasi. Kalau tidak, nantinya malah bikin acara
khusus
itu bubyar (baca: bubar) atau
memalukan. Kecuali di kala berkumpul
dengan keluarga yang memang berkumpul untuk saling memberikan selamat kepada
sang the king of the day.
Isi dari mandok hata juga tentu
saja disesuaikan dengan acara khusus tersebut. Saat kita mengunjungi orang
sakit, kita harus tahu akan bicara apa dan berapa lama. Saat ulang tahun,
begitu juga. Saat ada perpisahan saudara/kenalan dekat/teman begitu juga. Repotnya bila kita yang tidak begitu pintar
bicara lalu kena sasaran ditunjuk di tempat untuk mandok hata, membuat kita
mendadak keringatan dan pusing kepala.
Gara-gara adanya kebiasaan mandok
hata ini, tanpa sadar, terbentuk juga hal positif dalam diri saya yaitu berani berbicara di depan orang. Inilah yang
mungkin saya bisa bilang bahwa kebiasaan
di sebuah budaya pun salah satu media pendidikan. Mengenai perpanjangan benefit
lainnya seperti melatih diri kita mengutarakan kalimat formal secara teratur,
jelas dimengerti orang, tidak tumpang tindih, tidak bertele-tele dan tidak
membuat orang yang mendengar boring abis adalah berpulang ke seberapa jauh
orang itu mau belajar berbicara di depan orang lain (dengan kata lain, belajar
ngga lupa diri). Ini saya bilang
berpulang ke diri kita, karena perpanjangan benefit di atas juga seringkali
gagal dilaksanakan saat seseorang yang sedang mandok hata sudah dikasih sinyal
kedipan mata, deheman sang pasangan, dipelototin orang tua, disela anggota
keluarga yang berani nyela agar tidak terlalu lama bicara, tapi tetepp juga
tidak berhenti. Hingga dia tidak sadar, di kedua sudut bibirnya ada ‘penampakan
dua busa putih’, tidak sadar anggota keluarga lainnya sudah keluar masuk
ruangan untuk ganti rokok karena rokok sebelumnya sudah habis (nah kalau
kebiasaan ini bukan kebiasaan adat kami tapi kebiasaan orang tersebut yang
memang perlu mendapat perhatian khusus juga untuk direview habis-habisan) atau
tidak sadar kita yang mendengarkan sudah mati gaya karena sudah pegal dengan
posisi kaki berlutut, lipat ke kanan
lalu kiri, karena ngga mungkinlah kita ngedengerin sambil jongkok…..seperti di
manaaa gitu.
Saya juga melihat kebiasaan
mandok hata ini melatih saya untuk belajar mengucapkan sesuatu yang baik tentang orang lain. Sesuatu yang membangun. Sesuatu yang
menyatakan bahwa kita mengasihi dan memperhatikan orang tersebut. Bahkan
sesuatu yang mengkritik tapi dengan tatanan kalimat yang
bertanggungjawab, tidak asal keluar.
Secara kita ngomongnya di depan khalayak ramai gitu loh, tentu saja kita
harus bersikap ‘profesional’, citra diri harus dijaga. So, kalau ada dari kita
ditunjuk untuk mandok hata pada seseorang yang saat itu sedang ada konflik
dengan kita, keuji deh sampai mana pengontrolan diri kita. Anggota keluarga
lain yang kemungkinan tahu bahwa di antara kita dengan orang tersebut sedang
ada konflik dan otaknya kebetulan sedang mencong pasti seneng banget bila
melihat kita tidak bisa mengontrol diri saat mandok hata. Citra diri kita jatuh, mata anggota keluarga
yang otaknya mencong itupun berbinar dapet konsumsi drama dadakan.
Ada lagi kebaikan dari kebiasaan
mandok hata ini. Ini masukan dari ayahku. Kata beliau, mandok hata ini melatih
diri kita untuk mengekspresikan isi hati kita. Itulah yang terpatri di dalam
diriku hingga saat ini, saya seringkali meminta/memancing siapapun itu, baik
kedua orangtuaku, saudara, teman-temanku untuk mau mengekspresikan isi hatinya
saat mereka bad mood atau illfill pada seseorang / saya. Saat kita sudah
mencurahkan isi hati kita, maka kita akan menjadi lebih lega dan lebih sehat.
Memendam isi hati yang ternyata
membuat dirinya beban akan selalu memberikan efek buruk kepada orang-orang di
sekitarnya. Tanpa kecuali. Hal ini tidak
baik. Terlebih bila orang tersebut tidak
mampu mengontrol sikapnya sehingga malah membuat orang illfill pada dia, kecuali
kita ‘ahli’ memendam perasaan dan ‘jagoan’ mengontrol perasaan tersebut hingga
orang lain tidak terganggu akan emosi jiwa kita. Baru terjadi Sabtu kemarin, saya didiamkan
oleh temanku tanpa tahu sebabnya, walaupun kami sudah berbaikan kembali namun sampai
saya menulis artikel inipun saya tidak tahu penyebabnya.. Jujurnya sih, saya
yang didiamkan tanpa sebab cukup kesal tapi saya lebih cinta damai daripada konflik
berkepanjangan. (cieee…). Boleh
dibilang, mengeluarkan isi hati itu juga adalah berlatih bersikap jujur
terhadap diri sendiri dan kepada orang lain. Saya juga baru saja mengalaminya
sebulan lalu, walaupun bukan dalam acara keluarga khusus sebagaimana mandok
kata ‘berlaku’, yaitu saat saya meminta maaf pada tante bungsu saya dan dengan
jujur menyampaikan alasan mengapa saya melakukan suatu tindakan yang membuat
dia kesal. Dari sikap jujur saya itu, hubungan kami memulih kembali, walaupun
jawaban sang tante terhadap permintaan maafku itu bernada marah dan kurang saya
terima. Mau bersikap jujur memang ada
konsekuensinya, tinggal bagaimana kita menerimanya.