Kamis, 29 Desember 2011

Mandok Hata

Minggu, 18 December, saya sedang duduk di antara keluarga besarku.  Kami saat itu berkumpul untuk mengadakan acara syukuran.  Saat-saat yang jarang bukan bila kita bisa berkumpul bersama keluarga besar kecuali kalau sedang ada acara khusus?
Acara itu adalah untuk syukuran tiga hal penting yang terjadi berdekatan. Satu, ulang tahun ayahku tercinta yang memasuki usia 65 tahun, kedua, pensiunnya ayahku dari posisinya sebagai salah satu penatua (salah satu bentuk pelayanan di gereja yang sesuai peraturan gereja seorang penatua berhenti masa pelayanannya di usia 65 tahun) dan ketiga, acara baptisan (sebuah bentuk acara iman di dalam umat Kristen) dari keponakanku nomor dua yang masih berusia sembilan bulan. Hemat biaya, hemat waktu, hemat energi…dan yang paling penting… ramainya tetep tiada duanya. 
Kami semua duduk di tikar. Bukan karena keharusan di keluarga saya kalau berkumpul harus duduk di tikar, tapi ini adalah ide mama saat itu, yang selalu jadi  event organizer keluarga, supaya ruangan itu memuat semua anggota keluarga yang hadir. Bayangkan mereka yang datang adalah anak-anak dan cucu-cucu dari opung doli (kakek) ku kakak beradik! Ngga kebayang bo!  Aku pun setuju saja dengan ide mama. Maka, semua kursi, sofa, meja, meja hias yang ada di ruangan tamu diungsikan ke ruangan lain dengan sistim bagi. Sebagian dibagi ke kamarku, sebagian dibagi ke kamar orangtuaku.
Di keluarga kami, juga hampir di setiap keluarga-keluarga BATAK lainnya, ada sebuah kebiasaan yang hampir selalu dilakukan saat berkumpul di sebuah acara khusus yaitu kebiasaan ‘mandok hata’ (arti: mandok = berbicara, hata = kata). Sesi di mana  kami satu persatu diminta untuk mengucapkan satu dua patah kata (off the record: ada saja sih yang mengucapkan lebih dari beberapa paragraph, mirip lagi cerita ) yang berisi ucapan selamat, nasihat-nasihat membangun, harapan-harapan, tips, masukan atau bisa jadi kritikan kepada orang yang saat itu jadi king of the day-nya. King of the day pada acara keluargaku saat itu berarti  ayahku dan ponakanku. Secara ponakanku masih bayi, yang sudah pasti ngga ngerti akan segala nasihat and the gank-nya, maka nasihat and the gank tersebut ditujukan ke orangtuanya (adikku dan istrinya).
Sesi mandok hata biasanya kami laksanakan setelah selesai makan, mungkin untuk menghindari ada bunyi perut saat seseorang sedang berbicara. Setelah tikar dibersihkan dari piring-piring dan gelas-gelas bekas makan, tumpahan makanan, kulit buah, dll, semua anggota keluarga, kecuali anak-anak yang kemampuannya masih di level makan minum disuapin, main diawasin, mandi dimandiin, tidur diboboin, akan disuruh duduk berbentuk lingkaran (terserah sih, segiempat, jajarangenjang, elips juga boleh selama semua orang bisa saling melihat, termasuk untuk melihat sang the king of the day).  

Dalam sesi mandok hata ini, diharapkan dengan sangat agar nggak ada orang yang ngobrol. Aku tahunya ketika saat SD aku dipelototin mama karena ngobrol dengan saudara di sebelahku .  Tapi bukan berarti situasi harus selalu hening, sunyi, dan kaku ya. Sah-sah saja kok kalau ada komentar, tertawa mendengar nasihat and the gank yang terdengar lucu atau  menimpali masukan-masukan yang  belum pernah didengar, hanya jangan membuat acara sendiri di mana kita asyik ngobrol dengan orang sebelah kanan kiri kita membicarakan topik lain.  Dengan kata lain, tidak sopan.
Dalam keluargaku, entah di keluarga-keluarga BATAK lainnya, siapa yang harus mengucapkan mandok hata akan ditunjuk dan bergilir.  Anggota-anggota keluarga yang paling mudalah yang seringkali didaulat mandok hata lebih dulu, dilanjutkan terusss sampai ke anggota keluarga yang paling tua/dituakan.  Saudara sepupuku yang masih SD sudah pernah mengalami ditunjuk sebagai ‘pembuka sesi’.    Saat acara syukuran tahun baru di rumahku, dialah yang paling muda saat itu sehingga mendapat giliran pertama untuk mandok hata . Kami hanya bisa memaklumi dan tersenyum ‘sok bijak’ (karena kita yang sudah besar tidak lagi bisa hanya mengucapkan seperti apa yang diucapkan saudara sepupuku ini) saat isi mandok hata dia hanyalah,”Selamat tahun baru….” lalu dia bersembunyi di balik badan abangnya, malu. Diujung selesainya semua orang menyampaikan  mandok hatanya, baru deh  orang yang sedang ‘disyukurin’ itu membalas nasihat & the gank yang baru disampaikan kepadanya.

Pastinya saya tidak tahu kapan kebiasaan mandok hata ini dimulai.  Berdasarkan info sana sini dan melihat ahlinya para orang tua melakukan pengaturan waktu dan orang yang ditunjuk untuk menyampaikan mandok hata dan juga kebiasaan mandok hata yang tidak pernah tidak selalu ada sebagai acara ‘puncak’ saat keluarga atau keluarga lain  berkumpul merayakan suatu acara khusus, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa kebiasaan ini tidak mungkin  muncul baru pada puluhan tahun yang lalu.  Pasti sejak awal banget sejak kehidupan orang BATAK dimulai.  Kalau ada KoKiers yang tahu jelas kapannya, boleh deh nimbrung kasih info. Jadi sayapun tidak repot nyari..hehehe..
Alhasil, saking kebiasaannya kami menghadapi kebiasaan ini, kami para muda mudi pun terbiasa melakukannya juga saat ada teman yang ulang tahun, ngunjungin teman yang sakit (untuk yang satu ini kami biasanya membatasi satu orang saja, kecuali kalau kita ingin si sakit tambah sakit ngedenger banyak amat orang yang ngomong), mengunjungi orang meninggal (inipun dibatasin hanya satu orang), dan acara-acara khusus lainnya. Melihat dan belajar pada para senior (baca: orangtua, orang-orang yang dituakan dan orang-orang yang lebih tua),  berarti, siapa-siapa saja yang dimandatkan mandok hata tidak selalu disampaikan oleh setiap orang, tapi melihat situasi.  Kalau tidak, nantinya malah bikin acara khusus
itu bubyar (baca: bubar) atau memalukan.  Kecuali di kala berkumpul dengan keluarga yang memang berkumpul untuk saling memberikan selamat kepada sang the king of the day.
Isi dari mandok hata juga tentu saja disesuaikan dengan acara khusus tersebut. Saat kita mengunjungi orang sakit, kita harus tahu akan bicara apa dan berapa lama. Saat ulang tahun, begitu juga. Saat ada perpisahan saudara/kenalan dekat/teman begitu juga.  Repotnya bila kita yang tidak begitu pintar bicara lalu kena sasaran ditunjuk di tempat untuk mandok hata, membuat kita mendadak keringatan dan pusing kepala.
Gara-gara adanya kebiasaan mandok hata ini, tanpa sadar, terbentuk juga hal positif dalam diri saya yaitu  berani berbicara di depan orang. Inilah yang mungkin saya bisa bilang bahwa  kebiasaan di sebuah budaya pun salah satu media pendidikan. Mengenai perpanjangan benefit lainnya seperti melatih diri kita mengutarakan kalimat formal secara teratur, jelas dimengerti orang, tidak tumpang tindih, tidak bertele-tele dan tidak membuat orang yang mendengar boring abis adalah berpulang ke seberapa jauh orang itu mau belajar berbicara di depan orang lain (dengan kata lain, belajar ngga lupa diri).  Ini saya bilang berpulang ke diri kita, karena perpanjangan benefit di atas juga seringkali gagal dilaksanakan saat seseorang yang sedang mandok hata sudah dikasih sinyal kedipan mata, deheman sang pasangan, dipelototin orang tua, disela anggota keluarga yang berani nyela agar tidak terlalu lama bicara, tapi tetepp juga tidak berhenti. Hingga dia tidak sadar, di kedua sudut bibirnya ada ‘penampakan dua busa putih’, tidak sadar anggota keluarga lainnya sudah keluar masuk ruangan untuk ganti rokok karena rokok sebelumnya sudah habis (nah kalau kebiasaan ini bukan kebiasaan adat kami tapi kebiasaan orang tersebut yang memang perlu mendapat perhatian khusus juga untuk direview habis-habisan) atau tidak sadar kita yang mendengarkan sudah mati gaya karena sudah pegal dengan posisi kaki berlutut,  lipat ke kanan lalu kiri, karena ngga mungkinlah kita ngedengerin sambil jongkok…..seperti di manaaa gitu.
Saya juga melihat kebiasaan mandok hata ini melatih saya untuk belajar mengucapkan sesuatu yang  baik tentang orang lain.  Sesuatu yang membangun. Sesuatu yang menyatakan bahwa kita mengasihi dan memperhatikan orang tersebut.  Bahkan  sesuatu yang mengkritik tapi dengan tatanan kalimat yang bertanggungjawab, tidak asal keluar.  Secara kita ngomongnya di depan khalayak ramai gitu loh, tentu saja kita harus bersikap ‘profesional’, citra diri harus dijaga. So, kalau ada dari kita ditunjuk untuk mandok hata pada seseorang yang saat itu sedang ada konflik dengan kita, keuji deh sampai mana pengontrolan diri kita. Anggota keluarga lain yang kemungkinan tahu bahwa di antara kita dengan orang tersebut sedang ada konflik dan otaknya kebetulan sedang mencong pasti seneng banget bila melihat kita tidak bisa mengontrol diri saat mandok hata.  Citra diri kita jatuh, mata anggota keluarga yang otaknya mencong itupun berbinar dapet konsumsi drama dadakan.
Ada lagi kebaikan dari kebiasaan mandok hata ini. Ini masukan dari ayahku. Kata beliau, mandok hata ini melatih diri kita untuk mengekspresikan isi hati kita. Itulah yang terpatri di dalam diriku hingga saat ini, saya seringkali meminta/memancing siapapun itu, baik kedua orangtuaku, saudara, teman-temanku untuk mau mengekspresikan isi hatinya saat mereka bad mood atau illfill pada seseorang / saya. Saat kita sudah mencurahkan isi hati kita, maka kita akan menjadi lebih lega dan lebih sehat.
Memendam isi hati yang ternyata membuat dirinya beban akan selalu memberikan efek buruk kepada orang-orang di sekitarnya.  Tanpa kecuali. Hal ini tidak baik.  Terlebih bila orang tersebut tidak mampu mengontrol sikapnya sehingga malah membuat orang illfill pada dia, kecuali kita ‘ahli’ memendam perasaan dan ‘jagoan’ mengontrol perasaan tersebut hingga orang lain tidak terganggu akan emosi jiwa kita.  Baru terjadi Sabtu kemarin, saya didiamkan oleh temanku tanpa tahu sebabnya, walaupun kami sudah berbaikan kembali namun sampai saya menulis artikel inipun saya tidak tahu penyebabnya.. Jujurnya sih, saya yang didiamkan tanpa sebab cukup kesal tapi saya lebih cinta damai daripada konflik berkepanjangan. (cieee…).  Boleh dibilang, mengeluarkan isi hati itu juga adalah berlatih bersikap jujur terhadap diri sendiri dan kepada orang lain. Saya juga baru saja mengalaminya sebulan lalu, walaupun bukan dalam acara keluarga khusus sebagaimana mandok kata ‘berlaku’, yaitu saat saya meminta maaf pada tante bungsu saya dan dengan jujur menyampaikan alasan mengapa saya melakukan suatu tindakan yang membuat dia kesal. Dari sikap jujur saya itu, hubungan kami memulih kembali, walaupun jawaban sang tante terhadap permintaan maafku itu bernada marah dan kurang saya terima.  Mau bersikap jujur memang ada konsekuensinya, tinggal bagaimana kita menerimanya.